[Review] Queennora



Judul : Queennora 
Penulis : uniessy
Penerbit : pastelbooks 
Jumlah Hal : 336 hal
ISBN : 978-602-61273-4-1 

Blurb :

Sahabat bukanlah guru walau sering memberi petuah, bukan juga orangtua meski selalu menasihati, bukan pula pelawak kendati kerap mengukir tawa. Seorang sahabat akan marah seperti ayah, peduli seperti ibu, kadang mengganggu seperti kakak, dan sering menyebalkan seperti adik. Tapi, tulus menyayangi kita lebih dari kekasih.

Bersahabat baik, Queen dan Nora adalah dua pribadi berbeda. Queen yang penuh tanya dan Nora yang penuh ilmu, membagi kisah mereka tentang pentingnya persahabatan. Bahwa bersahabat bukan hanya tentang tertawa bersama, tetapi juga tentang saling mengingatkan.
 -----------------
Sahabat harganya mahal. Mahal banget. Bayarnya pake kepercayaan dan rasa sayang satu sama lain. Dan jika ada yang berusaha curang, biar saja. Biar alam semesta yang menghargainya.

---

Assalamualaikum.wr.wb

Yuk kita akan bahas dan review buku Queennora karya Uniessy.

Here we go...

Queennora menceritakan tentang persahabatan antara dua gadis bernama Queen dan Nora. Queen yang penuh tanya dan selalu ingin tahu, sedangkan Nora adalah kunci jawaban dari semua pertanyaan Queen.

Kisah antara dua sahabat dalam menjalankan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Di mana jika saat kita bersamanya jannah terasa lebih dekat karena sahabat kita tidak akan pernah lelah mengingatkan kita untuk selalu mencintai Allah dan Rasulullah.

Ada banyak hal yang pastinya sering kita lihat, dengar, bahkan yang menjadi topik hangat di media sosial akan menjadi perdebatan kecil antara Queen dan Nora.

Pernah membaca media sosial yang sering membicarakan boleh tidaknya mengucapkan selamat natal pada non muslim kan?

Nah itu juga menjadi topik yang dibahas Queen dan Nora.

Queen : "Aku heran dengan Muslim di luar sana yang masih gamang apakah sebaiknya mengucapkan selamat Natal atau tidak pada teman non-Muslim. Bukankah sudah jelas ayat dalam Al-Quran, bahwa untukmu agamamu dan untukku agamamku."


Kalian tahu apa jawaban Nora. Gadis ini tuh selow banget.

Nora : "Mereka hanya belum paham, Queen."


See? Nora itu seperti malaikat. 😊
Cerita Queen dan Nora mengajarkan kita untuk selalu mencintai Allah dan Rasulullah. Antara yang baik dan tidak baik, antara boleh dan dilarang oleh Allah.

Ada banyak hal-hal yang membuatku tersindir. Membuatku malu pada Allah, karena selama ini aku sering lalai dan lupa akan Allah yang selalu ada untuk diriku.

Gini, jika ada yang bertanya siapa idolamu? Apa jawabanmu.
Kalau Queen sih menjawab Super Junior. Hehehe... Beda sama Nora, idola Nora itu Rasulullah dan Fatimah Azzahra.

Lha kalau kamu?

Intinya, buku Queennora ini adalah buku yang tak hanya mengajarkan kita pentingnya persahabatan, tetapi juga mengajarkan kita arti kehidupan dengan menjalan perintah Allah SWT. Indahnya hidup bukan hanya dengan pasangan tetapi dengan sahabat yang baik insya Allah akan membawa berkah dan manfaat untuk diri kita.
Buku ini tidak akan pernah bosan untuk dibaca, tidak akan pernah hilang manfaatnya karena di dalamnya terdapat ilmu yang membuat kita lebih dekat dengan Allah dan lebih mencintai Rasulullah.

"Berjalan sendirian pasti akan cepat, tapi berjalan bersama saudari sesama pencinta Allah dan rasul-Nya, pasti akan bertahan. Sebab, ketika kita jatuh, tangan mereka akan menggapai kita. Menarik kita kembali agar kembali pada arah nan diridhai Allah." (Hal.160)


Jadi apakah kamu akan mencari sahabat terbaik atau menjadi sahabat terbaik untuk sahabatmu?
Nah yuk saling intropeksi diri.

Semoga kita termasuk umat yang selalu dicintai Allah, dan umat yang akan mendapat syafaat Rasulullah. Amin ya rabbal alamin.

Wassalamualaikum wr wb


Pati,  26 Agustus 2017

April Cahaya

[Review] Lost in Seoul


Judul : Lost in Seoul
Penulis : Meliza Caterin
Penerbit : Pohon Cahaya
Jumlah hal : 224 hal
ISBN : 978-602-0833-50-7

Blurb :

Naomi Divanda Adiwangsa berhasil mendapatkan ijin untuk mengikuti study tour ke negara Korea yang menjadi mimpinya, tapi tanpa diduga acara tour itu merubah alur hidupnya. Hari pertama tournya di Korea dia tertinggal dari rombongan, kemudian mendapatkan kecelakaan yang melibatkan leader boyband yang tengah naik daun.

Byun Jung atau yang biasa disebut BJ tidak ingin mendapatkan skandal karena sudah membuat seorang gadis celaka, dia tidak ingin imeg boybandnya mendapat sorotan buruk, maka BJ memutuskan untuk membawa Naomi yang masih dalam keadaan pingsan pulang ke dormnya.

Dia dan ketiga temannya sepakat untuk merawat gadis itu hingga sembuh, namun mereka tidak ada yang tahu kalau kehadiran Naomi membuat seseorang berang, keselamatan gadis itu terancam, hingga akhirnya Naomi menceritakan kejadian aneh yang menimpanya, kejadian tersebut membawa dia dan keempat pria itu pada titik terang sebuah kasus, mereka harus menguak kisah yang tertutupi oleh gemerlap dunia hiburan. Kebenaran harus terungkap, karena jika sampai mereka gagal. Maka dapat dipastikan, akan ada orang lain yang menjadi korban.

Here we go... 

Lost in Seoul menceritakan seorang gadis yang bernama Naomi.  Naomi sedang berlibur di Korea bersama teman-teman kampusnya,  hingga saat ia tertinggal rombongannya dan ia bingung harus berbuat apa.

Dan... nasib naas menimpa Naomi, gadis itu tertabrak mobil seorang leader boyband ternama di Korea. Karena panik dan bingung pria yang bernama BJ (Byung Jung) itu membawa Naomi ke dorm milik boyband Candy.

Untuk menghindari masalah yang lebih rumit para member Candy terutama sang leader BJ, memutuskan untuk merawat Naomi hingga sembuh. Terlepas dari itu mereka juga tidak mau jika para wartawan akan memberitakan hal buruk tentang mereka.

Hidup Naomi bersama empat pria tampan ini juga tak melulu indah seperti bayangan kita. Masalah muncul hingga menyeret Naomi ke masalah tentang kasus yang selama ini tertutup rapat. Bersama para member Candy, Naomi ikut membuktikan kecurigaan mereka selama ini.

Membaca cerita ini tuh seperti membaca cerita-cerita fanfiction. Eh beneran. Dulu hobiku juga baca cerita-cerita fanfiction lho. Mengkhayal bagaimana bisa mempunyai kisah bersama para bias. Hahahaha...

Oke aku akan bahas beberapa kelebihan dan kekurangan novel ini.
Novel ini ringan sih, meskipun konfliknya adalah kasus yang mungkin di kehidupan nyata itu cukup serius. Aku cukup menikmati alur kisahnya, apalagi interaksi antara Naomi dan member Candy. Ini nih yang membuat jiwa fangirlku kumat lagi. Bahkan aku membaca novel ini sambil mendengarkan musik-musik K-pop.

No romance. Pertama kali, aku kira bakalan ada benih-benih cinta diantara Naomi dan salah satu member, ternyata tidak. Tetapi nggak akan mengurangi serunya cerita ini sih.

Nah ada beberapa kejanggalan atau kekurangan dari cerita ini.

Pertama, tentang karakter Naomi. Di awal Naomi ini diceritakan berpakaian tomboi. Sedikit cuek, meski teman-temannya sudah jejeritan histeris ketika tiba di bandara. Tapi... di cerita selanjutnya waktu Naomi di dorm Candy, gadis itu bisa lho memakai pakaian yang cewek banget. Karakternya itu terlalu manja jika diawal digambarkan tomboi. Menurutku Naomi ini cocok jadi anak SMA dibanding anak kuliahan.

Kedua. Pada umumnya jika kita ketinggalan rombongan, kita akan langsung menghubungi teman-teman atau pembimbing rombongan lah ya. Atau bisa juga ke bagian informasi kan masih di bandara. Tapi Naomi tidak melakukan apa-apa di sana.

Ketiga, Naomi cenderung menikmati banget tinggal bersama boyband itu. Terkesan nggak ada usaha yang berarti untuk pergi gitu.

Keempat, di awal-awal karaktee BJ sang leader kupikir bakal jadi tokoh yang akan dominan di karakter cowoknya tapi, di bagian tengah cerita, malah DJ yang lebih berperan mencari peunjuk tentang kasus itu.
Yah itulah review aku untuk novel Lost in Seoul.

Ini pertama kali aku baca karya kak Meliza Caterin. Meski demikian aku suka gaya bahasa si penulis, bahkan ada beberapa bagian yang bisa membuatku tersenyum dan bilang "mau dong kayak Naomi".

See u.. Bye bye..
Thank u...

-April Cahaya-

Alula



Namaku Alula. Awalnya aku hanya gadis SMA biasa berumur 17 tahun yang menjalani kehidupan biasa saja. Hidupku berubah ketika mimpi-mimpi itu menghantuiku hingga ke kehidupan nyata.

Salah satunya adalah saat ini. Aku rela berdiri di depan gerbang sekolah demi menunggu seseorang yang muncul di mimpiku semalam.

"Lo terlambat 15 menit." kataku pada seorang cowok yang baru saja tiba di depanku. Dia memakai hodie merah dengan huruf O besar di bagian depan.

"Besok gue akan datang 15 menit lebih awal." Dia mengacungkan jari telunjuk dari tangan kanan dan 5 jari dari tangan kirinya.

"Gue pegang janji lo. Kalau lo terlambat, lo nggak perlu datengin gue lagi. Deal?" Aku mengulurkan tanganku.

"Deal."

"Oke. Sekarang kita ke mana? Gue harus melakukan apa buat lo?" tanyaku langsung tanpa basa-basi.

Hidupku tidak hanya untuk mengurusi orang-orang tidak jelas seperti cowok ini. Aku harusnya seperti remaja lainnya yang sibuk melakukan apapun yang menurutku menarik.

"Lo punya kertas? Bolpoin?"
Aku memutar bola mataku. Tentu saja aku punya semuanya. "Punya lah. Bentar."

Aku menyobek kertas bagian tengah buku tulisku, dan mengambil satu bolpoin dari tempat pensil.

"Buat apaan sih?" tanyaku tidak sabaran. Cowok itu hanya mengedikkan bahunya dan mulai menuliskan sesuatu.

Jiwa kepoku kumat. Aku sedikit memanjangkan leherku untuk mengintip apa yang dia tulis, tetapi dia buru-buru menutupnya.

"Ini rahasia. Mata lo bintitan kalau ngintip."

Sialan.

Setelah itu aku hanya duduk terdiam menunggunya selesai menulis. Hanya sepuluh menit dia menulis. Sungguh aku tidak tahu apa yang dia katakan di surat itu. Yang jelas menurutku tulisannya jelek, seperti kebanyakan cowok-cowok. Aku sempat melihatnya sedikit tadi.

"Nih. Besok lo kasih surat ini ke temen gue. Namanya Ardan. Dia sekolah di SMA Nusa."

"Hah? Nggak mau ah. Itu sekolah isinya cowok semua." Aku protes. Aku paling malas ke sekolah itu. Kalian tahu kan mulut cowok-cowok itu tidak mau diam jika lihat cewek?

"Gue cuma minta lo kasih surat ini ke temen gue, bukan sok kegenitan dan cari gebetan di sana."

Boleh tidak aku mengumpat ke cowok ini?

"Iya iya mana?" Aku menerima selembar surat itu di tanganku.

"Jangan lo buka. Awas aja."

Sumpah rasanya aku ingin menginjak-nginjak surat ini dan melemparnya ke selokan. "Kalau nggak mau ini surat gue baca, kasih amplop terus lem pakai lem Alteco." Aku berdecak kasar.

"Oh iya, gue lupa kasih amplop. Lo beliin amplop sekalian ya. Oke? Gue pergi."

Sialan tuh cowok. 

"Woi,  nama lo siapa?" Teriakku pada cowok itu.

"Dasar cewek pikun. Gue udah nyebutin nama gue di mimpi lo. Gue,  Orlan."

Setelah itu dia menghilang.

---

"Al, kemarin lo sama siapa? Di depan gerbang sekolah? Cowok lo?"

Aku hampir tersedak minuman saat mendengar pertanyaan Caca.

"Cowok? Siapa?" tanyaku.

"Pikun lo kumat lagi. Kemarin Alula sayang... " Saking gemasnya Caca sampai mencubit pipiku dengan keras.

"Sakit, bego."

"Makanya jangan lupa mulu. Ih."
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi kemarin setelah aku pulang sekolah. Dan... mungkin yang dimaksud Caca adalah Orlan. Tapi, bagaimana Caca bisa...

"Ca gimana lo bisa..." Bel masuk berbunyi begitu nyaring hingga Caca pamit untuk kembali ke kelasnya.

"Gue balik ke kelas dulu. Bye, Alula. Gue tagih jawabannya nanti pas pulang sekolah."

Aku harus kabur nanti sebelum Caca menemukanku. Tapi aku masih penasaran bagaimana dia bisa melihat aku dan Orlan?

---

Asal kalian tahu,  aku sudah mempermalukan diriku sendiri di depan gerbang sekolah itu. Berangkat pagi-pagi untuk menemukan cowok yang bernama Ardan. Hanya untuk memberikan surat dari Orlan.

Bisa dibayangkan, aku seperti fans beratnya Ardan yang gila dengan memberikan sepucuk surat cinta. Cuih.

Beruntung aku menemukan Ardan di antara gerombolan cowok yang akan masuk ke gerbang sekolah itu. Gimana caranya aku menemukan Ardan?  Hanya asal tebak saja. Dan berhasil.  Aku tepat sasaran.
Setelah ini aku hanya perlu konfirmasi pada Orlan jika tugasku selesai.  Dan dia tidak ada alasan lagi datang ke mimpiku.

Aku memintanya datang ke kafe dekat sekolah. Aku hanya tidak ingin Caca melihatku bersama cowok ini lagi. Meskipun aku masih saja penasaran bagaimana Caca bisa melihat Orlan.

"Tugas gue udah selesai kan?" tanyaku pada cowok itu. Dia hanya menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk pelan.

"Udah.  Thanks ya. Tapi...  dua hari lagi gue akan datangin lo lagi." ucapnya seraya berdiri.

"Ngapain?"

"Kasih lo hadiah kecil."

"Hah?" Aku hanya melongo menatapnya menghilang setelah pintu kafe tertutup. Mungkin dia adalah salah satu orang aneh yang selalu aku temukan di dunia ini. Ralat. Sebenarnya dia bukan orang lagi.  Dia arwah, asal kalian tahu.
Itulah mengapa dia memintaku untuk memberikan semacam surat wasiat pada sahabatnya. Mungkin.

Inilah aku,  gadis SMA bernama Alula yang mempunyai kemampuan istimewa sekaligus merepotkan.



#TugasFiksike10


Pati,  13 Agustus 2017

April Cahaya

[Review] Cerpen Pondok Jati



Bismillah...


Kali ini aku berkesempatan mereview tulisannya kakak cantik Nur Musabikah yang berjudul Pondok Jati. Cieh nama depannya samaan nih.

Oke, sebelumnya aku belum pernah baca karya-karya kakak cantik ini,  jadi ini yang pertama. Dan untuk pertama kalinya juga aku posting review di blog.

Setiap membaca cerita pasti yang dilihat dulu adalah judul.  Pondok Jati. Dari judul ini aku berpikir apakah ini sebuah pondok atau rumah sederhana seperti itu yang terbuat dari kayu jati?  Atau mungkin yang dimaksud pondok di sini adalah pondok pesantren?

Oke saatnya membaca ceritanya...
Dan..  Dugaanku yang kedua tentang cerita inilah yang benar. Ini tentang pondok pesantren.

Aku suka gaya menulis mbak Nur yang mendeskripsikan tempat, seakan-akan pembacanya memang bisa melihat langsung tempat yang diceritakan. Poin plus. Yah karena aku lemah dalam mendeskripsikan tempat ke dalam cerita.

Kalimat demi kalimat enak dibaca tidak terasa sudah di akhir cerita. Tapi... ada beberapa typo yang mengganggu.

Karena ini sejenis cerpen yang menurutku tidak ada konflik yah... Tidak perlu dikomentari panjang-panjang ya.

Cukup sekian dan terima kasih. Sukses terus buat mbak Nur.

Salam ODOP. :D



Pati, 09 Agustus 2017
April Cahaya

Untuk Musim dan Cinta yang Tak Menentu


Bolehkah aku menyamakan musim dengan cinta? Alasannya, karena dua hal itu sama-sama tak menentu saat ini. Musim sekarang tidak bisa diprediksi seperti dulu, begitu pun cinta ia juga tidak bisa diprediksi akan tetap bertahan atau menghilang diterpa angin.
            Berkali-kali aku mengintip dari balik jendela kamarku hanya untuk mengamati suasana rumah di seberang jalan. Aku baru saja tiba di rumah tadi pagi. Perjalananku dari Jakarta yang berangkat kemarin sore baru tiba di kampung halaman pada pagi harinya. Dan pemandangan yang aku lihat pertama kali adalah rumah di seberang jalan rumahku telah ramai oleh tetangga-tetangga.
            Pemilik rumah itu seminggu lagi akan mantu. Jadi pantaslah jika rumah mereka dipenuhi para tetangga yang hendak membantu memasak atau lainnya. Tetapi kenyataan itu membuat dadaku sesak. Ada rasa kecewa yang cepat menghampiriku, dan karena alasan ini pula aku pulang ke kampung.
--**--
            “Ibu, tidak ikut membantu ke rumah seberang?” tanyaku saat menghampiri ibu yang masih asyik dengan mesin jahitnya. Aku melihat banyak tumpukan kain baru di mejanya. Itu artinya ibu lagi banyak orderan menjahit baju.
            “Kayak ndak ngerti aja gimana hubungan Ibu dengan tetangga seberang itu, Nduk.” Aku hanya tersenyum samar mendengar perkataan ibu. Aku sebenarnya sangat tahu jika ibu dan tetangga seberang itu tidak pernah baik. Entah karena mereka terlalu sombong karena kaya, atau karena ibu yang terlalu berani menanggapi ejekan mereka.
            “Itu si Bagas sudah pulang dari dua hari yang lalu. Denger-denger dia satu kota kan kerjanya sama kamu, Nduk?” tanya ibu tiba-tiba membuatku hampir tersedak minumanku sendiri.
            “I..iya Bu.” jawabku. Aku mengerjap dan mengela napas sangat pelan, hanya untuk menyamarkan rasa kagetku tadi. “Kenapa, Bu?”
            “Ndak, ibu cuma nanya aja. Kali aja kamu pernah bertemu dengan Bagas gitu di sana. Kan satu kota masa iya tetangganya sendiri ndak ngenalin.” Ibu tersenyum dan kembali dengan jahitannya.
            Aku menelan ludah. Aku mengerjap beberapa kali. Mendadak rasa gugup menyerangku. Ibu tidak pernah tahu jika aku satu kantor dengan Bagas dan aku sudah menjalin hubungan asmara dengan laki-laki itu.
--**--
            Saat ini aku menatap deretan atap genteng yang berwarna merah kecokelatan, terbaring di atas tempat tidur yang lebih luas dibanding di kamar kost-ku di Jakarta. Pikiranku terbang entah ke mana. Yang aku ingat hanya nama Bagas dan kata-katanya sebelum dia pulang ke kampung ini.
            “Ris, besok aku akan pulang ke kampung dulu. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan terlebih dahulu. Kalau aku sudah selesai dengan urusan itu, nanti aku akan secepatnya kembali ke Jakarta lagi.”
            Betapa manisnya janji itu. Hingga aku bertemu dengan teman baik Bagas dan mengatakan jika Bagas pulang kampung untuk menikah. Bolehkah aku menyebutnya laki-laki brengsek? Aku tahu jika orang tua kami tidak berhubungan dengan baik, tetapi dia berjanji akan berusaha sekuat tenaga dan bagaimana pun caranya agar kami bisa bersama. Pada kenyataannya dia pulang hanya untuk menikahi wanita lain.
            Sial. Apa aku sebegitu bodohnya hingga mudah dibohongi laki-laki seperti Bagas?
            Tanpa aku duga air mata sudah membahasi pipiku. Aku mengusapnya dengan kasar. Aku berharap ini caraku yang terakhir untuk memastikan sekali lagi jika Bagas masih menginginkanku. Tetapi berkali-kali aku ragu untuk menemuinya.
            Sekarang baru pukul 9 malam, tetapi suasana kampung ini sudah sangat sepi. Tidak ada suara kendaraan lewat meski rumahku dekat dengan jalan utama desa. Berbeda dengan di kota, sampai tengah malam pun suasananya masih ramai. Seolah kota itu tidak pernah tidur.
            Samar-samar aku mendengar suara telivisi masih menyala. Pasti itu Bapak yang masih menyaksikan pertandingan sepak bola favoritnya. Aku memilih memejamkan mata untuk mengusir kegundahan hatiku.
            Selamat malam, Bagas. Semoga besok aku mempunyai keberanian untuk menemuimu.
--**--
            “Wah ini calon pengantin rajin ya pagi-pagi.” Samar-samar aku mendengar beberapa tetangga yang menyapanya di depan rumah. Saat itu aku duduk di teras ditemani kopi susu buatan ibu. Dia sedang mencuci mobil di halaman rumahnya. Dia hanya mengenakan kaos polos berwarna putih dan celana pendek sebatas lutut. Dan bagiku dia tetap laki-laki yang berhasil mencuri hatiku.
            Aku menghembuskan napas kasar. Jari-jariku mengetuk meja berkali-kali. Haruskah sekarang? Tidak, bisa jadi nanti para tetangga malah curiga. Apalagi jika ibunya Bagas melihatku menghampirinya. Jika aku mengirim pesan padanya sekarang, besar kemungkinan dia akan membacanya nanti.
            Jadi aku memutuskan hanya memandangnya dari jauh. Dia tidak tahu aku juga pulang. Yang dia tahu, aku pasti menunggunya di kota perantauan. Kenyataannya aku sedang mengawasinya sekarang.
            Sebenarnya aku penasaran dengan wanita yang akan merebutnya dariku. Seperti apa rupanya? Apakah dia lebih cantik dariku? Yang aku dengar, wanita itu adalah anak kepala desa yang terkenal sebagai kembang desa. Cih.
            Tiba-tiba saja langit berubah mendung, angin semilir begitu dingin, dan hujan pun turun. Lihatlah musim itu tidak bisa diprediksi. Baru kemarin Bapak bilang jika sekarang ini musim kemarau panjang, kenyataannya sekarang hujan turun dengan derasnya.
            Kulihat dia buru-buru memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku segera mengetik pesan untuknya. Aku ingin bertemu dengannya.
--**--
            Dia dihadapanku sekarang. Sudah sejak tadi dia berusaha menggapai tanganku namun aku tepis. Dia berusaha memelukku tapi aku mundur. Mulut laki-laki kebanyakan memang tidak dapat dipercaya. Janji manis? Janji yang begitu indah? Omong kosong. Dia akan menikah 3 hari lagi.
            “Harusnya kamu nggak usah sok janji-janji sama aku, Mas.” kataku dengan nada tegas.
            “Ris, maafin aku. Aku sudah berusaha meyakinkan kedua orang tuaku. Tetapi mereka tidak mendengarku sama sekali. Mereka memutuskan semuanya sendiri. Menentukan calon dan tanggal pernikahan seenaknya tanpa persetujuan dariku.” Jeda sejenak, dia menghela napas kasar, mencengkeram rambut cepaknya. “Ini diluar keinginanku, Ris. Aku janji akan menyelesaikan masalah ini secepatnya.”
            “Maksud kamu menyelesaikannya dengan cara menikahi wanita itu secepatnya?” Dia membelalakkan matanya.
            “Bukan gitu, Ris...”
            “Terus apa, Mas? Apa kamu mau kabur di hari pernikahanmu?” Dia tidak menjawab. Mulutnya membuka dan menutup tetapi tidak mengeluarkan suara.
            Aku menyodorkan sebuah surat yang aku bungkus dengan amplop warna merah. “Semoga kamu mengambil keputusan yang terbaik, Mas.” Setelah mengucapkan itu, aku lari dan meninggalkannya.
--**--
            “Kok cepet sih Nduk baliknya? Ndak seminggu sekalian gitu?” taya ibu yang membantuku mengemasi pakaian.
            “Riris cutinya hanya 3 hari, Bu.” Ibu mengangguk dan melanjutkan membantuku.
            Aku menyerah. Aku pergi dan tidak akan kembali ke kampung ini untuk waktu yang lama. Bukan hanya untuk menyembuhkan sakit hatiku tetapi juga untuk menemukan cinta yang baru. Semoga ini yang terbaik untukmu dan untukku juga.
            Mana aku sanggup menyaksikanmu mengucapkan ijab qabul besok pagi? Jalan satu-satunya aku harus pergi dari sini secepatnya. Tiket bus ke Jakarta sudah aku beli sebelum aku bertemu denganmu kemarin malam. Bus akan berangkat nanti sore pukul 4. Aku sudah meminta Bapak untuk mengantarku ke stasiun.
            Diam-diam aku menangis tanpa sepengetahuan Ibu. Cepat-cepat aku menghapus air mataku ketika Ibu memanggilku. Katanya Bapak sudah menungguku di depan. Aku harus segera pergi. Saat ini masih pukul 3 sore, perjalanan menuju terminal sekitar setengah jam. Jadi aku tidak mungkin terlambat dan tertinggal bus. Aku sungguh tidak sanggup lagi berlama-lama berada di kampung ini.
            “Sudah siap semua, Nduk?” tanya Bapak dari atas motornya. Aku mengangguk. Aku pamit pada Ibu dengan air mata yang tiba-tiba meluncur begitu saja. Ibu mengira aku masih merindukannya dan tidak rela pergi sekarang. Padahal aku sedang menangisi nasibku sendiri.
Ibu, anak gadismu ini sedang patah hati ditinggal menikah oleh kekasihnya.
--**--
Sekarang sudah pukul 04.05. Lebih lima menit dari waktu pemberangkatan. Aku menggurutu tidak sabar sama seperti penumpang lainnya. Kondektur berkali-kali meneliti jumlah penumpangnya. Kurang satu orang lagi.
Ayolah, cepat berangkat sebelum aku berubah pikiran.
Tiba-tiba saja pintu bus terbuka dengan omelan sang kondektur yang terdengar sangat keras di luar sana. Mataku terbelalak ketika menatap seseorang yang baru saja masuk ke dalam bus. Dia berjalan dan duduk disampingku dengan napas tersengal.
“Aku belum terlambat kan, Ris?” Aku tidak bisa menahan air mataku.
“Kamu terlambat 7 menit, Mas.” Aku tersenyum dalam tangis. Biarlah aku menjadi wanita jahat sekali saja. Aku punya hak untuk merebutnya kembali. Dia kekasihku. Tidak ada orang lain yang bisa memisahkan aku dan dia.
Di malam aku memberikan surat pada Bagas, aku menyelipkan satu tiket bus di lipatan surat itu. Aku berharap dia berubah pikiran dan mau pergi bersamaku dari kampung itu. Dan ternyata... dia benar-benar memilihku.


Note : Cerita ini ditulis karena terinspirasi dari kumpulan cerpen Boy Candra yang berjudul Satu Hari di 2018. Sebagian besar cerpen-cerpen karyaku juga terinspirasi dari gaya menulis Boy Candra.

           

Pati, 31 Juli 2017

April Cahaya



Waspada! Saat Writers Block Menyerang




Apa sih writers block? Pastinya sudah tidak asing lagi kan dengan istilah ini di kalangan para penulis? Harusnya sih iya.
            Yup, writers block adalah kata paling mengerikan dibanding dengan kata mantan. Eh. Kita singkat saja menjadi WB. Tetapi bukan Warner Bross lho ya. WB ini menjadi momok yang mengerikan jika dia sudah menyerang para penulis. Apa sih penyebabnya?
            Penyebab dari WB bisa jadi banyak hal. Misalnya saja saat kita para penulis merasa kegiatan sehari-hari telah menyita banyak waktu sehingga tidak lagi mempunyai waktu untuk menulis. Pada akhirnya kita terbiasa tidak menulis dan yah... lupa deh caranya menulis. Maka muncullah istilah writers block yang ditandai dengan ketik hapus ketik hapus.
            Atau juga dengan alasan tidak ada ide. Hehehe. Banyak banget yang beralasan seperti ini. Padahal ide itu bisa muncul dari mana saja seperti dari gambar, foto, musik, film bahkan kejadian-kejadian yang kita alami atau kita lihat setiap hari.
            Bisa dibuktikan saat kelas di grup yang aku ikuti di ODOP Kelas Fiksi. Berkat bantuan Uncle-sensei (panggilan apaan ya ini? :D) nyatanya kita bisa menemukan berbagai  ide dari satu gambar. Keren kan?
            Makanya jangan beralasan tidak ada ide. Ide itu bisa di mana saja dan bisa kita temukan dengan mudah.
            Oke... kembali ke tujuan awal kenapa aku menulis ini adalah untuk sedikit berbagi pengalaman tentang keluar dari zona berbahaya yang disebut writers block.
            Dimulai dari awal aku terkena WB ya... Kira-kira ini awal bulan Februari tahun ini, aku memutuskan untuk mengurangi kegiatan menulisku karena akan memasuki semester akhir di perkuliahanku. Yah kalian tahu lah apa yang harus dilakukan oelh mahasiswa semester akhir? Yup, skripsi eh... aku bukan mengerjakan skripsi sih, tapi karya ilmiah. Masih sejenis laporan ilmiah lah ya. Terus, semakin hari aku semakin disibukkan dengan tugas-tugas kuliah, bimbingan, presentasi, penelitian dan lain sebagainya.
            Sebenarnya aku masih menulis cerpen atau artikel ringan sih, tetapi tidak sesering dulu yang setiap hari pasti menulis. Takutnya jika aku menulis diluar kegiatan menulis karya ilmiah, malah tugasku itu tidak selesai-selesai. Jadilah aku hanya menulis karya ilmiah saja, tidak lainnya, apalagi menulis cerita fiksi.
            Berbulan-bulan lamanya hingga aku sudah menyelesaikan karya ilmiah bahkan UAS, eh yang awalnya aku berpikir setelah kuliah selesai aku bisa start nulis lagi, kenyataannya nol besar. I’m stuck. I can’t do anything. Melototin laptop iya. Ide? Tidak ada yang lewat satu pun. Parahnya terjadilah ketik hapus ketik hapus gitu terus sampai dinosaurus hidup lagi.
            Pada waktu itu akhir bulan Mei sudah memasuki bulan Ramadhan. Mungkin karena efek puasa juga, aku ini malas ngapa-ngapain. Menulis? Sama sekali tidak ada dalam agendaku. Aku sudah berpikir, wah bakalan didepak dari grup ODOP nih. Blog pun sudah menjamur dan berkerak. Oke, ini parah kan?
            Selain terkena WB muncul lah penyakit lain yang lebih parah. Reading Slump.Yaitu keadaan di mana kita malas untuk membaca. Oke fix, hidupku tidak beguna sama sekali. Udah terkena WB abis itu terkena RS. Kelar hidup lo, Pril.
            Sebulan penuh tanpa baca, tanpa menulis. Maksudnya tanpa baca buku, hanya membaca Al-Quran dan buku-buku hadist. Yah setidaknya ini kegiatan yang bermannfaat banget kan ya? Karena aku mengikuti beberapa kajian dan belajar tafsir Al-Quran.
            Nah setelah satu bulan berlalu, aku memutuskan untuk membasmi semua penyakit jahanam itu. Aku mulai tertarik dengan dunia para bookstagram. Apa sih bookstagram itu? Itu lho orang-orang yang suka foto-foto buku dengan sangat cantik terus di upload di instagram dengan caption review singkat yang bikin kalian-kalian semua tertarik membaca buku itu. Nah itu namanya para bookstagram.
            Aku mulai bergabung dengan grup-grup mereka di Line. Ngobrol seru bareng mereka, cekrak-cekrek buku terus di upload di instagram, belajar review buku yang menarik tanpa spoiler dan mulailah penyakit RS nya hilang. Eits... tapi si WB masih betah bersemayam.
            Karena banyak baca, maka timbullah keinginan menulis lagi. Sumpah, ini dengan paksaan sekuat tenaga badak. Aku mencoba menulis lagi meski hasilnya amat sangat hancur. Maklum, aku seperti pertapa yang baru keluar dari goa.
            Tulisanku hancur, tapi ini bukan berarti gagal kan? Oke, coba lagi dan lagi.
            Oh ya, temukan orang-orang yang membuatmu cemburu. Bukan sang mantan yang segera menikah lho ya... Tapi, orang-orang yang sudah melahirkan karyanya berkali-kali.
            Duh, nih orang kok udah nerbitin buku ya, aku kapan?
            Lha si ini kok sudah nerbitin buku yang kedua? Aku satu aja belum.
            Sederet kata-kata itu kan masuk dalam kategori cemburu. Cemburu yang positif tentunya. Aku mulai berlatih menulis lagi, yah walaupun ini tak mudah seperti usaha mencari jodoh yang tidak ketemu-ketemu, seperti itulah perjuangannya. (Halah apaan ini... -_-)
            Beruntunglah doaku terkabul, di ODOP ada program baru. Yup dibagi beberapa kelas yaitu kelas fiksi, non fiksi dan reading chalenge. (eh beneran 3 kelas kan ya?) Nah tanpa pikir panjang aku mengikuti kelas fiksi dan reading chalenge. Alhamdulillah, sekarang semua penyakit jahanam itu bisa teratasi. Semoga tidak kumat lagi ya.
            Intinya, semua itu tergantung niatnya. Kalau kita punya niat yang baik dan semangat pantang menyerah, insya Allah usaha kita tidak akan sia-sia kok. Ada banyak cara untuk menghilangkan WB, mungkin salah satunya yang kemungkinan berhasilnya paling manjur adalah cara yang kamu temukan sendiri. Biasanya sih gitu. Hehehe.
            Oke, terima kasih banyak buat yang sudah baca curhatan ini dengan penuh semangat. Aku mohon maaf karena ini juga termasuk tugas kelas fiksi yang aku kerjakan di hari-hari menjelang deadline setor tugas.

Note: Aku adalah murid paling malas dan bandel di kelas Fiksi karena ngumpulin tugas selalu mepet deadline. Wkwkwkw...

Sekian dan terima kasih, bye bye.

Pati, 31 Juli 2017

April Cahaya


Euforia Cinta


Aku mengetuk beberapa kali meja kayu mahoni yang ada di depanku. Mataku sejak tadi menyisir setiap sudut tempat ini tanpa terkecuali. Pigura-pigura cantik bernuansa vintage terpajang rapi di dinding bangunan ini. Properti-properti cantik seperti miniatur sepeda lawas, bunga-bunga plastik kecil seperti bonsai dan satu lukisan abstrak yang menurutku sangat aneh. Mungkin orang lain tidak akan begitu detail memperhatikan dekorasi tempat ini seperti diriku.

Pintu kafe berdenting menandakan ada orang yang masuk. Wajahku seketika tersenyum saat melihat siapa orang itu. Laki-laki dengan postur tubuh ideal dengan memakai outfit yang lumayan santai tapi tetap keren.

“Maaf telat.” katanya seraya duduk di depanku. Aku menggumamkan kata tidak apa-apa padanya. Aku tahu jika jalanan kota ini tidak bisa diajak bersahabat jika kamu mempunyai janji untuk bertemu dengan seseorang.

“Udah pesen minum?” tanyanya. Aku mengangguk. “Kalau gitu aku pesen dulu ya.” Aku mengagguk lagi. Kemudian aku menutup buku yang sejak tadi aku buka tetapi tidak aku baca karena aku lebih sibuk mengamati setiap detail kafe ini.

“Nggak pesen makan? Biasanya juga pesen pancake. Mau ya?”

“Mau apa?”

“Aku pesenin pancake kesukaan kamu.”

“Masih kenyang. Nggak usah.”

“Ya udah kalau gitu. Cappuchino Latte satu ya Mbak.” ucapnya pada pelayan kafe ini. Asal kalian tahu, laki-laki ini tidak pernah mengubah pesanan minumannya meskipun kita selalu berpindah-pindah kafe. Itu adalah minuman favoritnya.

“Entah kenapa kemarin aku mendadak baper pas lagi motret pernikahannya klienku.” Aku membulatkan mataku. Aku bertanya kenapa pada dia. “Nggak tahu. Mendadak baper.” Kemudian dia tertawa dengan keras. Aku juga tidak bisa tetap menahan bibirku tetap datar.

“Kapan wisuda?” tanyanya lagi. Sepertinya dia memang laki-laki yang lebih suka bertanya daripada menungguku untuk menceritakannya sendiri.

“Bulan depan.”

“Bagus.”

“Bagus?” tanyaku balik.

“Iya, biar kita cepet nikah. Biar aku nggak baper sendiri pas lagi foto pernikahan klien. Apalagi pas dateng ke pernikahan mantan.” Aku tertawa lebih keras dari sebelumnya. “Satu lagi. Biar aku nggak dikatain fotografer ganteng tapi nggak laku.”

Dia adalah laki-laki paling jujur yang pernah aku temui. Ini menurut pengukuranku dengan mantan-mantan pacarku yang dahulu. Masih kuingat dengan jelas apa yang dia katakan saat kita baru kenal. Aku bertemu dengannya saat pernikahan kakak perempuanku. Saat dia mengatur tripot kameranya, tanpa sengaja aku yang agak meleng malah menabraknya. Untung saja kamera itu tidak terjatuh. Dan apa yang dikatakannya setelah kita berbincang lumayan lama, membuatku tahu jika masih ada laki-laki seperti dia.

“Aku mau kenalan sama kamu karena kamu cantik. Beneran aku nggak bohong. Coba deh tanya Mama kamu, pasti bilang kamu cantik.” Aku tertawa. “Kalau boleh aku mau jadi pacar kamu. Tetapi aku belum tahu lho sifat kamu kayak gimana. Tetapi menurut indra keenam milikku, kamu itu baik kok.” Aku tertawa lagi. “Tapi aku selalu serius dengan setiap perempuan yang aku ajak pacaran.”

Di tengah euforia cinta yang sering diumbar di media sosial ataupun yang cuma lewat di mulut saja, aku melihat ada yang berbeda dengan laki-laki itu. Ada keseriusan dibalik candaannya. Ada tanggung jawab besar di setiap kata-katanya. Dan ada kasih sayang yang tulus disetiap bentuk perhatiannya. Membuatku yakin memang dialah yang selama ini aku cari.

“Aku bahagia jika bersamamu, Mas.”

Dia tersenyum lebar dan menjawab, “Sama.”

--**--

#tugaskelasfiksi #tugas4

Pati,  23 Juli 2017


April Cahaya